Para ilmuwan telah lama menemukan bukti bahwa kopi atau teh dapat mendongkrak stamina tubuh seseorang. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa mengonsumsi secara rutin dua jenis minuman yang paling populer di dunia ini juga dapat melindungi Anda dari kanker otak yang kerap menyerang orang dewasa.Walaupun hanya minum setengah cangkir kopi atau teh per hari, ternyata dapat menurunkan risiko kanker otak sebesar 34 persen. Dominique S Michaud dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Brown University di Providence, Amerika Serikat, merupakan ketua tim internasional yang melaporkan temuan tersebut pada edisi November jurnal American Journal of Clinical Nutrition.
Gagasan bahwa kopi dan teh bermanfaat bagi kesehatan, terutama sebagai antikanker bagi peminum reguler berdasarkan pada penelitian sebelumnya yang telah menunjukkan bahwa penikmat dua minuman ini juga dapat terhindar dari risiko untuk penyakit alzheimer dan parkinson. Studi lanjutan ini membahas lebih jauh kemungkinan bahwa kopi dan teh juga dapat mencegah kanker otak.
Terutama jenis glioma, sebuah kanker yang menyerang sistem saraf pusat yang berasal dari otak dan atau sumsum tulang belakang. Glioma termasuk kanker otak penyebab sekitar 80 persen dari kasus kanker otak ganas pada orang dewasa. Namun, hasil penelitian ini sendiri belum dapat membuktikan bahwa kedua minuman itu memberikan perlindungan terhadap kanker. “Ini semua bersifat sementara,” kata Michaud.
“Studi ini seharusnya tidak menjadi alasan bagi siapa pun juga untuk mengubah asupan kopi atau teh mereka,” lanjutnya seperti dikutip healthday.com. Sekalipun jika kopi dan teh memiliki efek langsung terhadap risiko glioma, sepertinya dampaknya akan kecil. Kanker otak secara umum jarang terjadi di dunia.
Di Eropa misalnya, tingkat kejadian tahunan diperkirakan antara empat hingga enam kasus per 100.000 perempuan, dan enam sampai delapan kasus untuk setiap 100.000 pria. Secara keseluruhan, kemungkinan seseorang akan mengembangkan kanker otak dalam seumur hidup mereka kurang dari 1 persen.
Namun ujar Michaud, jika asupan kopi dan teh yang lebih tinggi ternyata dapat melindungi terhadap glioma, ini akan dapat memberikan wawasan pada peneliti mengenai penyebab kanker tersebut. “Saat ini kita tidak tahu banyak tentang apa yang menyebabkan kanker otak,” tandasnya.
Studi ini sendiri mengevaluasi data kesehatan lebih dari 410.000 pria dan wanita berumur antara 25 dan 70 tahun yang diambil dari penelitian European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition, yang berasal dari Prancis, Belanda, Italia, Spanyol, Inggris, Yunani, Denmark, Norwegia, Swedia, dan Jerman.
Para partisipan direkrut antara 1991 dan 2000 dan terus dipantau selama 8,5 tahun. Dalam penelitian dilakukan survei makanan yang digunakan sebagai pengukur, antara lain jumlah konsumsi teh dan kopi masing-masing peserta studi. Mereka juga diminta melengkapi kuesioner tentang riwayat kesehatan, diet, kebiasaan olahraga, merokok, dan faktor gaya hidup mereka lainnya.
Dalam rentang waktu tersebut, 343 kasus baru glioma terdiagnosis. Juga 245 kasus baru meningioma, jenis kanker lain yang memengaruhi jaringan yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang. Secara keseluruhan, konsumsi kopi tanpa kafein ditemukan sangat rendah. Sementara kopi biasa dan pola minum teh sangat bervariasi dari satu negara dengan negara lain. Misalnya Denmark (konsumen terbesar kopi) minum rata-rata hampir 3,5 cangkir per hari.
Atau Italia (konsumen terendah) rata-rata kurang dari setengah cangkir sehari. Konsumsi teh tertinggi dilakukan oleh partisipan dari Inggris dan terendah dari Spanyol. Penambahan konsumsi minuman terhadap timbulnya kanker otak ternyata saling berkaitan. Tim peneliti menemukan, minum 100 ml (atau sekitar 0,4 cangkir) per hari atau lebih dapat menurunkan risiko glioma sebesar 34 persen.
Selain itu, disimpulkan juga bahwa efek perlindungan dari dua minuman ini tampaknya sedikit lebih kuat terhadap seorang pria dan sepertinya berlaku hanya untuk glioma. Menurut Michaud, tidak jelas mengapa tidak ada bukti hubungan dosis-respons antara konsumsi kopi dan teh dengan risiko glioma, yang umumnya dianggap sebagai tanda kuat dari kemungkinan adanya hubungan sebab- akibat.
Namun, mungkin itu berkaitan dengan kesulitan dalam pengukuran tepat asupan kopi dan teh dari peserta studi, yang tergantung pada laporan itu sendiri. “Ini secara biologis masuk akal bahwa kopi dan atau teh dapat memengaruhi risiko glioma,” katanya. Sebuah studi laboratorium baru-baru ini misalnya, menemukan bahwa kafein tampaknya dapat memperlambat pertumbuhan sejenis glioma yaitu glioblastoma.
Selain itu, baik kopi maupun teh mengandung antioksidan yang membantu melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan yang dapat menyebabkan kanker dan penyakit lainnya. Namun, bisa juga para pencinta kopi dan teh itu memiliki karakteristik lain yang mungkin memengaruhi kemungkinan mereka terkena glioma.
Tapi sejauh karakteristik itu belum terungkap, maka penyebab kanker otak itu juga belum dapat diketahui. Peneliti mengetahui adanya beberapa faktor risiko. Mereka yang menjalani terapi radiasi -paling sering radiasi pada kepala untuk mengobati jenis kanker lain- memiliki risiko tinggi mengalami tumor otak di masa mendatang. Pradisposisi genetik tampaknya berperan dalam sebagian kecil kasus tumor otak. Namun, bukti faktor makanan atau lingkungan, seperti paparan terhadap zat kimia di tempat kerja sejauh ini belum konklusif. Michaud mengatakan, masih butuh beberapa penelitian untuk mengonfirmasi bahwa ada hubungan antara konsumsi kopi dan teh dengan risiko glioma dan untuk mengetahui alasan yang mendasarinya.
Dr Jonathan Friedman, Kepala Texas Brain and Spine Institute di Texas A&M Health Science Center College of Medicine, Bryan, Texas, Amerika Serikat, menggambarkan temuan tersebut sebagai “hal yang mengejutkan”.
“Namun harap diingat, mekanisme mengapa kopi dapat menjadi pelindung (sebuah penyakit) benar-benar belum jelas,” terangnya. “Sementara manfaat kafein itu sendiri mungkin penting (bagi tubuh), namun beberapa komponen umum lainnya dalam sebuah kopi atau teh juga mungkin relevan (menjadi penyebab), seperti antioksidan alami,” katanya.
“Penelitian lanjutan akan diperlukan untuk mengonfirmasi temuan ini dan untuk mengidentifikasi bagaimana dasar dari hubungan korelasi tersebut,” uar Friedman. Dr John S Yu, Direktur Brain Tumor Center of Excellence di Cedars- Sinai Medical Center di Los Angeles, Amerika Serikat, menyebut penemuan ini luar biasa. “Jika kita punya obat untuk berbagai penyakit yang dapat mengurangi risiko menderitanya sekitar 34 persen, tentu akan dianggap sebagai obat yang hebat,” katanya.